Bukit Tinggi, Kota Padang, dan Pulau
Mentawai mungkin sudah tidak asing lagi bagi para pelancong yang sudah
menjejaki Provinsi Sumatera Barat. Destinasi
di Padang (Sumatera Barat) tidak hanya itu saja, karena padang itu paaanjaaang
lho.. jika kamu tahu. Percaya atau tidak. Cukup satu hari saja, aku bisa
mengitari Padang Panjang.
Satu jam empat puluh
lima menit jarak yang ditempuh dengan pesawat dari Jakarta untuk mendarat di
Badara Internasional Minangkabau, Padang-Sumatera Barat. Libur akhir pekan ini
memang mendadak, karena tanpa sengaja aku browsing
tiket pesawat, eh ternyata ada tiket pesawat dengan harga promo. Tanpa pikir
panjang lagi, aku booking untuk
perjalanan one way. Aku punya waktu
dua hari untuk menghilangkan penat dari rutinitas pekerjaan. Apakah itu cukup
untuk liburan ke Padang. Let’s see...
Jemputan sudah datang,
Uda Ahmad sudah menungguku di pintu keluar Bandara Minangkabau. Uda merupakan panggilan
kakak lelaki untuk orang Minang-Padang. Dia merupakan saudaraku yang tinggal
menetap di Padang, dan dia yang akan mengantarku untuk menghabiskan akhir pekan
ini untuk mengitari Kota Padang Panjang yang disebut Serambi Mekah. Sebelum berangkat,
Uda Ahmad sudah mengingatkanku untuk tidak lupa membawa jaket atau pakaian yang
dapat menghangatkan badan. Padang Panjang merupakan daerah yang diapit dua
gunung, yaitu Gunung Marapi (Merapi) dan Gunung Singgalang. Jadi terbayangkan
suhu di daerah tersebut pastinya dingin, katanya rata-rata suhu setiap hari
sekitar 18-20 derajat celcius.
#1st
Rel
Kereta Api
Perjalanan pertama
dimulai menuju Kota Padang Panjang yang berhawa dingin dan sejuk di kaki gunung
Marapi (Merapi-red). Gunung ini bukan gunung Merapi di Jawa. Perjalanan dari
kota Padang ditempuh kurang lebih dua jam, dengan jarak kurang lebih 60 km. Jalanan
berkelok-kelok, tetapi tidak setanjam kelok 44 “ampek puluh ampek” yang berada Kabupaten
Agma-Sumatera Barat. Sepanjang jalan aku disuguhi pemandangan yang segar,
dimana bukit dipenuhi dengan pepohonan yang masih hijau alami. Sungguh segar
dipandang mata. Subhanallah.... Tiba-tiba mataku tertuju pada sebuah jembatan
yang melintas di atas jalan raya. Aku minta Uda Ahmad menghentikan
kendaraannya. Itu adalah rel kereta api. Uda Ahmad pun menjelaskan, “Rel kereta
api ini merupakan peninggalan masa penjajahan Belanda yang dibangun oleh
pemerintah Hindia Belanda sekitar tahun 1895 untuk mengangkut batu bara dari
Sawahlunto ke Indarung-Kota Padang, selain itu juga dipergunakan sebagai sarana
transportasi umum. Kota Padang Panjang merupakan tempat pertemuan jalur kereta
api dari daerah Kota Bukittinggi ke Kabupaten Solok yang akan menuju Kota
Padang atau sebaliknya. Saat ini, Pemerintah
Kota Padang Panjang sedang mempersiapkan pengaktifan kembali jalur kereta api
yang mengubungkan Padang Panjang dengan Padang”. Aku terkagum melihat konstruksinya
yang masih kokoh. Padahal itu bangunan yang bisa dikatakan sudah uzur, yang dibangun
pada zaman Hindia Belanda. Ku termangu menerawang ke masa zaman penjajahan
dahulu. Berarti dahulu, orang Belanda (Hindia Belanda) yang membangun ini telah
berpikir panjang, bahkan sangat panjang memikirkan pembangunan sarana
transportasi ini agar bisa dipakai dan kokoh berdiri dalam jangka waktu yang
lama. Andaikan para pembangun sarana transportasi umum saat ini berpikir
seperti itu, mungkin banyak sarana yang dibangun itu awet.
#2nd
Air
Terjun Lembah Anai
Perjalanan terus
berlanjut, jembatan rel kereta api ini merupakan tanda bahwa kita telah
menginjak di tanah Padang Panjang. Tidak jauh dari tempat tadi, aku disuguhi
kembali pemandangan yang sangat indah di tepi jalan raya dari Kota Padang
menuju Padang Panjang. Tepatnya di daerah daerah Silaiang Bawah, Padang Panjang.
Air yang mengalir begitu deras keluar dari sebuah lembah. Ini adalah Air Terjun
Lembah Anai. Subhanallah.. indahnya ciptanMu ya Allah.. moment ini tidak
kusia-siakan untuk diabadikan dengan kamera pocket. Gemericik air yang mengalir
ini berasal dari Gunung Singgalang, masih terasa dingin saat menyentuh air dan
membasuhnya ke wajahku.#3rd
Surau
Nagari
Sampai di Kota Padang Panjang, tidak
lengkap bila tidak makan sate padang. Sate padang yang tersohor dan enak tak
lain tak bukan adalah “Sate Padang Mak Syukur”. Sate padang Mak Syukur aslinya
ada di Pasar Padang Panjang. Awalnya sate padang Mak Syukur merupaka jajanan
kaki lima dengan satu gerobak kecil, namun karena rasanya yang enak. Sate ini
laris manis dan berkembang sampai saat ini. Uda Ahmad mambawaku mampir ke warung
Mak Syukur untuk mengisi perutku yang sudah keroncongan. Biasanya bila beli
sate padang, kita disuguhi dua tusuk sate padang dan sepiring ketupat. Di
warung sate padang Mak Syukur, satu porsinya terdiri sepuluh tusuk sate dan
satu buah ketupat berukuran cukup besar. Wow...porsinya tersaji cukup besar.
Aku berpikir apakah bisa menghabiskan sate padang ini. Rasanya yang enak
membuatku melahap habis satu porsi sate Padang Mak Syukur... (hehehe ini doyan
apa laper...sindir Uda Ahmad).
Setelah makan sate
padang, perjalanan berlanjut menuju ke sebuah desa yang tidak jauh dari Kota
Padang Panjang. Sepuluh menit, aku sudah sampai di Desa Lubuk Bauk, Batipuah Baruah
(bawah). Uda Ahmad mengajakku berwisata rohani sejenak ke sebuah Surau (masjid)
bersejarah, namanya Surau Nagari. Bangunan yang terbuat dari kayu ini sangat
unik. Subhanallah...Betapa unik dan indah bangunan ini, bila diperhatikan
kayu-kayu tersusun rapi tanpa menggunakan paku, satu kayu dengan kayu lain
disambung dengan pasak-pasak. Arsitektur bangunan ini dibuat agar tahan gempa
sama seperti halnya dengan Rumah Gadang, rumah adat Minangkabau. Surau Nagari ini
didirikan di
atas tanah wakaf Datuk Bandaro Panjang, seorang yang berasal dari suku Jambak,
Jurai Nan Ampek Suku. Surau Nagari dibangun oleh masyarakat Nagari Batipuh
Baruh selama lima tahun (dari tahun 1896 sampai 1901).
Surau Nagari
terdiri
dari tiga lantai, yaitu lantai pertama merupakan ruang utama untuk sholat
dan juga tempat belajar agama. Disebalah barat bangunan ini terdapat mihrab untuk
imam sholat. Dengan melewati tangga kayu, kita menuju lantai
kedua yang berukuran lebih kecil dari lantai pertama tadi. Fungsi lantai kedua
ini tempat belajar mengaji dahulunya. Lantai ketiga ini merupakan lantai atas
untuk naik menuju ke menara masjid. Bagian luarnya membentuk empat serambi
dengan atap bagonjong ciri khas bangunan minang. Bangunan lantai tiga ini
menghadap empat arah mata angin. Menurut keterangan masyarakat, empat
serambi melambangkan “Jurai nan Ampek Suku”, agama, dan lambang dan empat tokoh
pemerintahan (Basa Empat Balai) kerajaan Pagaruyung. Sedangkan ukiran pakis di
bagian luar serambi melambangkan kebijaksanaan, persatuan, dan kesatuan dalam
nagari. Kota Padang Panjang ini diberi julukan Serambi Mekah, karena terkenal
dengan negeri yang banyak suraunya (mesjid). Masyarakat Minangkabau juga masih
berpegang teguh dengan dengan semboyan “Adat basandi syarak,
syarak basandi Kitabulloh” (artinya: Adat bersendi Agama, Agama bersendi
Kitabullah Al Quran).
Saat kita melihat ke arah menara bangunan Surau
Nagari, terlihat bangunan berbentuk segi delapan berdinding kayu dengan jendela
kaca di setiap sisinya. Bagian atas menara diberi “tiang” seperti puncak gedung
sate di Bandung. Puncak menara Suaru Nagari terdiri dari bulatan-bulatan
(labu-labu) yang makin ke atas semakin mengecil dan di akhiri oleh bagian yang
runcing (gonjong). Surau Nagari saat ini tidak digunakan lagi untuk
sholat berjemaah dan mengaji, melainkan menjadi bangunan Cagar Budaya yang
dilindungi. Disamping bangunan Surau Nagari terdapat Mesjid Ula Lubuk Bauk yang
digunakan untuk sholat berjemah dan mengaji para santri.
#4th
“Tabanan”
Paninjauan
Setelah
melewati destinasi di Batipuah Baruah (bawah), Uda ahmad menawarkanku untuk
melihat suasana di atas, yaitu Batipuah Ateh (atas). Sesampai di atas, aku
merasakan sejuknya udara yang masih dingin meskipun hari sudah siang. Disini
aku merasa seperti berada di persawahan terasering di Tabanan, Bali. Padahal
kakiku saat itu sedang berada di Paninjauan, Batipuah Ateh, Tanah Datar, Padang
Panjang. Subhanallah.....lukisan alam yang begitu indah sekali. Aku melihat ke
bawah, hamparan padi yang sedang menguning. Dipinggir sawah terdapat nyiur
kelapa yang melambai menambah asri. Seperti yang kuketahui sebagian besar
penduduk di Batipuah ini bekerja sebagai petani. Provinsi Sumatera Barat
termasuk rangking lima penghasil padi (beras) terbesar di Indonesia. Di daerah
Paninjauan ini, terdapat spot dimana kita bisa melihat sebuah Danau. “Uda,
habis ini kita pergi ke Danau itu ya...!” pintaku kepada Uda Ahmad. “Itu
namanya Danau Singkarak, baik kita akan ke sana nanti sambil makan ikan bilih
khas Danau tersebut”. Jawab Uda Ahmad. Ikan bilih apalagi itu....???.
#5th
Istana
Baso Pagaruyung
Sebelum
kita ke Danau Singkarak, kita mampir dahulu ke sebuah istana yang terdapat di
Sumatera Barat, yaitu Istana Pagaruyung. Istana ini merupakan replika Istana
Pagaruyung yang terbakar dalam perang saudara dalam masyarakat Minang dengan
Kaum Padri pada tahun 1815. Pagaruyung
adalah nagari
yang terletak di dekat Batusangkar, ibu kota kabupaten Tanah Datar,
Sumatera Barat.
Saat saya ke Istana Pagaruyung masih dalam renovasi akibat kebakaran yang
disebabkan korsleting listrik. Namun, berita dari Uda Ahmad, saat ini Istana
Pagaruyung sudah mulai dibuka kembali. Untuk mengobati kekecewaan saya, uda
ahmad mengajak saya melihat beberapa prasasti Adityawarman yang masih berada di
Batusangkar, lokasinya tidak jauh dari Istana Pagaruyung. Dari sumber tambo
(cerita rakyat Minangkabau), Munculnya nama Pagaruyung
sebagai sebuah kerajaan Melayu
tidak dapat diketahui dengan pasti. Dari beberapa prasasti yang ditinggalkan
oleh Adityawarman, menunjukan bahwa Adityawarman memang pernah menjadi raja di
negeri tersebut, tepatnya menjadi Tuhan Surawasa, sebagaimana penafsiran
dari Prasasti Batusangkar.
Waallahualam....
#6th
Danau
Singkarak
Tempat
terakhir liburan akhir pekan saat itu adalah Danau Singkarak, tetapi ini bukan akhir dari
melancong di Padang Panjang Danau
Singkarak membentang luas di dua kabupaten di provinsi Sumatera Barat, yaitu kabupaten Solok dan Tanah Datar (Padang
Panjang). Sejenak aku dan Uda Ahmad duduk santai di salah satu restoran di
pinggir Danau Singkarak untuk melepas lelah setelah seharian mengelilingi Padang
Panjang. Kupandangi Danau Singkarak yang sangat luas ini sambil mendengar
penjelasan Uda Ahmad tentang Danau yang katanya terluas kedua di pulau
Sumatera. Danau ini merupakan hulu Batang
Ombilin, airnya dialirkan menuju Bukit Barisan melalui terowongan
sampai ke Batang
Anai (Lubuk Alung, Kabupaten Padang
Pariman) untuk menggerakkan generator PLTA
Singkarak. Sebelum melanjutkan ceritanya, Uda Ahmad
memesan makanan khas Danau Singkarak. Apa itu...? Ini bukan rendang daging atau
ayam pop. Kalau sudah ke Danau Singkarak, lupakan sejenak dua makanan itu yang
sering kita temui di Rumah Makan Padang. Inilah makanan khas Danau Singkarak, Ikan Bilih yang gurih dan enak. Konon ikan bilih
berukuran kecil yang bernama latin (Mystacoleusus
padangensis Blkr) ini hanya ada dan hidup di Danau Singkarak. Menyantap
ikan bilih sambil disuguhi pemandangan indah Danau Singkarak didepan mata
menambah ciamik top markotop deh. Sehari saja di padang panjang, cukup
membuatku jatuh cinta pada karunia-Nya dan tak hentiknya bertasbih menyebut
namaNya...Subhanallah....
Komentar
Posting Komentar